June 07, 2018

Lahir Tanpa Tangisan #4

Pukul 04.00 WITA mulas yang saya rasakan ditambah dengan rasa mulas seperti mau BAB. Rasa ingin mengejan pun tidak tertahankan.

"Sus, ini kok kayak mau BAB ya?"

"Jangan dikejan dulu, Bu, belum waktunya, nanti takut jadi bengkak. Ayo atur nafas lagi, Bu"

Suami membimbing saya untuk mengatur nafas. Alhamdulillah rasa ingin mengejan tiba-tiba hilang. Tapi rasa mulas kontraksinya masih luar biasa dahsyat. Selang beberapa menit rasa ingin mengejan timbul lagi, kali ini lebih heboh datangnya sampai saya kaget karena terlanjur mengejan. Bidan di samping saya segera cek bukaan.

"Oke, alhamdulillah sudah bukaan lengkap, Bu. Kita ke ruang bersalin ya, Bu"

Saya dibawa ke ruang bersalin di lantai 3. Dingin. Hening. Saya membayangkan seperti apa wajah dan kondisi bayi yang sebentar lagi akan saya lahirkan. Apakah nanti saya akan berani melihatnya. Sekilas ada rasa takut, takut kalau kondisinya akan membuat saya trauma.

"Ibu bisa pindah ke kasur bersalinnya, Bu? Pelan-pelan aja, Bu"

"Sebentar sus masih belum bisa saya kontrol sakitnya"

Sebetulnya saya agak kesal ketika disuruh pindah kasur. Yang benar saja, lagi menahan mulas kontraksi gini kok ya disuruh pindah. Memangnya gak bisa di kasur yang sebelumnya saja?

Setelah rasa mulas dan kram-nya bisa saya kontrol, saya pindah ke kasur bersalin sambil berguling perlahan. Bidan memasang perlak di bawah pinggul saya. Ada 2 bidan yang menemani saya di ruang bersalin itu.

"dr. Andri-nya bilang baru kesini setelah subuhan dulu ya, Bu, tanggung kata beliau. InsyaAllah kami berdua bisa bantu kalau memang nanti ternyata lahiran sebelum dokter datang"

Tiba-tiba rasa ingin BAB muncul lagi.

"Sus sekarang sudah boleh ngejan kan ya?"

"Boleh, Bu. Ayo kakinya ditekuk aja, Bu"

Sekali kejan. Belum berhasil. Muncul kembali gelombang kontraksinya. Seorang bidan meluruskan kembali kaki saya, katanya agar rasa ingin mengejannya datang lagi. Tapi saya merasa kesakitan luar biasa dengan posisi terlentang seperti itu.

"Sus boleh baring menyamping gak? Sakit banget terlentang gini"

"Gakpapa, Bu. Senyamannya ibu aja"

Saya coba berbaring menghadap kanan, benar lebih nyaman. Dan alhamdulillah muncul lagi rasa ingin mengejannya. Saya mengejan untuk kedua kalinya. Saya merasa seperti ada yang sudah keluar, namun sepertinya belum maksimal. Kemudian saya ubah posisi menjadi terlentang lagi, saya atur nafas seteratur mungkin.

Suami saya akhirnya masuk ke kamar bersalin, mendampingi saya, sama-sama ikut berjuang untuk bertemu dengan anak kami untuk pertama dan terakhir kalinya.

Gelombang kontraksi semakin dahsyat, kemudian langsung dilanjut dengan rasa ingin mengejan. Saya mengejan untuk yang ketiga kalinya, cetek blaasshhh, saya merasa keluar banyak air di bawah sana. Saya mengejan lagi untuk yang keempat kalinya.

"Sus, kayaknya udah ini"

Bidan mengecek perlak di bawah pinggul saya.

"Iya, Bu. Alhamdulillah sudah lahir ya, Bu"

Ternyata nunggu Baba kamu masuk kamar bersalin dulu ya, Nak, baru mau keluar :')


- - -









Ba'da adzan subuh, anak penghuni surga Allah itu lahir.

Muhammad Syafa Ramadhan

Tanpa ada tangisan, tanpa ada adzan yang biasa dikumandangan oleh seorang ayah di telinga anaknya yang baru lahir.

Sunyi

Sepi

- - -

Saya meminta suami untuk memfoto anak kami. MasyaAllah, begitu bersih, tampan, tubuhnya lengkap, jari-jari tangan dan kaki lengkap. Matanya terpejam. Seperti sedang tidur nyenyak.

"Ibu mau lihat anaknya?"

Bidan menghampiri saya sambil menggendong anak saya. Saya mengangguk, kemudian bidan mendekatkan anak saya ke kepala saya. Saya elus lembut pipi Syafa. Wajahnya sangat mirip dengan saya. Dada saya terasa sesak lagi, menyadari bahwa pagi ini menjadi pertama dan terakhir kalinya saya melihat Syafa di dunia.

Ya Allah, Syafa. Anak Ibun. Sayangnya Ibun :'(




Tak berapa lama kemudian dr. Andri masuk ke dalam kamar bersalin. Melihat kondisi vagina dan rahim saya setelah melahirkan Syafa.

"Alhamdulillah bagus aja, tidak ada robekan ya, Bu"

Kemudian dr. Andri melihat kondisi Syafa. Kulitnya sudah mulai membiru katanya.

"Ini kemungkinan sudah lebih dari 24 jam ya, Bu. Sudah agak keriput dan mulai membiru soalnya. Saya lihat ini plasentanya bagus-bagus aja, Bu ai. InsyaAllah pagi ini sudah keluar hasil lab untuk cek urin dan darahnya ya, Bu. Sekali lagi yang sabar ya, Bu, Pak"

Setelah itu saya diberi obat oleh bidan, efeknya membuat saya menggigil kata bidannya. Benar saja, tidak berapa lama saya mulai merasa kedinginan. Minta tolong bidan untuk menyelimuti saya hingga sebatas leher. Efek menggigil itu agak membuat saya lemas dan mengantuk. Kemudian saya dibawa kembali ke kamar rawat saya di lantai 5.

Syafa ada dalam gendongan ayahnya. Suami bilang pada saya bahwa terasa hangat saat ia menggendong Syafa.

Pagi itu juga suami membawa pulang Syafa untuk dimandikan, dikafani, disholatkan di rumah kami, kemudian dikuburkan di samping makam almarhumah uti dari suami. Sedih karena tidak bisa ikut mengantar Syafa ke tempat istirahatnya. Saya masih harus bedrest karena tensi belum normal juga.

Sekitar pukul 10.00 WITA, dr. Andri masuk ke kamar rawat saya, menyampaikan diagnosa dari hasil lab, cek darah dan urin saya. Saya didiagnosa mengalami PEB (pre eklamsi berat) dan HELLP Syndrome. Masuk kategori PEB karena tensi saya mencapai 190/120, padahal 140/100 saja sudah masuk pre eklamsi berat. Kemudian didiagnosa HELLP Syndrome karena ditemukan protein pada sample urin saya. Namun kata dr. Andri memang Syafa pergi sangat tiba-tiba, karena pada umumnya dalam kasus PEB dan HELLP Syndrome ini seharusnya sudah terlihat gejala-gejalanya paling tidak 1-2 bulan sebelum ada kemungkinan iufd seperti yang terjadi pada saya dan Syafa. Sedangkan hasil cek lab saya pada tanggal 16 Mei (2 hari sebelum saya merasa tidak ada gerakan janin), menyatakan bahwa tensi saya normal, gula darah normal, tidak ditemukan protein dan asam urat pada urin.

Dan pada akhirnya kembali lagi, semuanya sudah menjadi takdir Allah SWT. Semua yang kita miliki di dunia ini pada dasarnya bukan milik kita, Allah hanya meminjamkan, termasuk anak. Allah hanya meminjamkan Syafa pada saya dan suami selama 8 bulan di dalam rahim saya, dan saya sangat bersyukur atas hal itu.

Sekarang yang bisa saya dan suami lakukan hanya berusaha untuk terus ikhlas, sabar, menjadikan ini sebuah peringatan bahwa Allah bisa mengambil nyawa hambanya kapanpun Ia inginkan. Menjadikan ini sebuah pengingat untuk menjadi hamba-Nya yang lebih baik lagi, lebih taat lagi, agar nanti Syafa benar-benar bisa menjadi syafaat bagi saya dan suami. Agar nanti Syafa yang menggandeng erat tangan kami menuju surga-Nya. Agar nanti kami bisa bertemu Syafa lagi dan melakukan semuanya yang belum sempat kami lakukan dengan Syafa di dunia.


Muhammad Syafa Ramadhan. Abang Syafa sayang. Anak Ibun dan Baba. 

Sekarang Syafa bobo yang nyenyak ya. Selalu doakan Ibun dan Baba agar kami jadi hamba Allah yang taat, agar kami bisa berkumpul sama Syafa lagi di Surga-Nya.

Love you, Nak

Ibun dan Baba sayang kamu, Syafa

0 comments:

Post a Comment