June 05, 2018

Lahir Tanpa Tangisan #3

Kalut. Bingung. Bertanya-tanya.

Kenapa?

Apa yang salah?

Kok bisa?

Kenapa begitu cepat?

Kenapa kamu pergi, Nak?

Kenapa tinggalin ibun?

- - -


Keluar dari ruang prakter dr. Andri, saya dibawa kembali ke kamar terima. Bidan dan perawat yang ada disana menyambut saya dengan 'sabar ya, Bu', 'ikhlas ya, Bu'. Salah satu perawat mengukur tensi saya, 190/120, ibu mertua saya kaget mengetahui tensi saya begitu tinggi. Saya pun sebetulnya kaget, tapi entah kenapa pikiran dan pandangan saya kosong, masih kalut, masih bingung dengan apa yang menyebabkan anak saya pergi begitu cepat. Masih memikirkan apa yang salah? Apa yang salah pada tubuh saya?

Segera saya dibawa ke kamar rawat di lantai 5, dipasang infus. Untuk pertama kalinya saya diopname di rumah sakit, pertama kalinya tangan saya ditusuk jarum infus. Air mata saya masih mengalir sesekali tanpa bisa saya tahan. Mata saya terasa panas. Kepala saya terasa berat dan sakit. Saya terus istighfar sambil membelai-belai perut saya, seperti berharap tiba-tiba anak saya kembali bergerak dalam perut saya, tiba-tiba jantungnya kembali berdetak.

Lemas. Saya takut tidak sadarkan diri. Untuk mengalihkan perasaan itu saya mengambil handphone saya, buka whatsapp, ada pesan dari Ayah saya.

Kak, cucu Ayah udah pergi ya? :'(

Saya kembali menangis sambil menjawab pesan whatsapp ayah. Minta maaf dan minta didoakan agar saya bisa ikhlas, agar saya kuat saat persalinan nanti, agar tensi saya segera normal kembali. Ayah minta maaf karena tidak bisa ikut ke Samarinda bersama mama, jatah cuti ayah saya sudah habis. Saya tentu bisa maklum dan bilang bahwa doa dan maaf dari ayah sudah lebih dari cukup.

Grup whatsapp EDAAANNN, Wendy, Ori, dan Vika, jadi 3 orang setelah keluarga yang saya kabari mengenai kepulangan anak saya. Ketiga sahabat saya ini jelas kaget. Mereka tidak menyangka sama sekali akan mendengar kabar seperti ini dari saya. Saya pun tidak menyangka. Yang saya inginkan sebetulnya adalah memberi kabar kejutan bahwa saya akhirnya memutuskan untuk lahiran di Jakarta, agar mereka bisa menjenguk saya dan anak saya di RS atau di rumah kelak. Namun qadarullah, kabar kepulangan anak saya ini lah yang bisa saya umumkan ke ketiga sahabat saya ini. 

Beberapa menit setelahnya, pesan whatsapp dari teman-teman kantor saya dulu bermunculan. Memberikan saya semangat dan mendoakan saya. Pun dari keluarga, pesan dan whatsapp call bergantian di handphone saya. Ayah dan mama pasti juga sudah mengabarkan berita duka ini.

Teman-teman kantor bapak mertua dan teman-teman dharma wanita ibu mertua saya datang bergantian menjenguk saya. Saat teman-teman ibu datang, tidak sedikit yang bercerita bahwa beliau atau anak beliau atau menantu beliau juga pernah mengalami hal yang sama dengan saya. Saya sangat berterima kasih, setidaknya dengan mendengar cerita-cerita mereka, saya merasa tidak sendiri.

- - -


Ba'da dzuhur akhirnya suami sampai di rumah sakit. Melihatnya berjalan dari pintu masuk dan menghampiri saya sambil tersenyum membuat saya kembali menangis. Saya merasa bersalah, merasa gagal membuatnya menjadi seorang ayah, merasa bersalah karena sering membuatnya khawatir selama kehamilan saya, merasa bersalah karena memberi kabar duka saat ia sedang mencari nafkah di Bontang pagi tadi. Kemudian ia duduk di samping kasur, satu tangannya menggenggam tangan saya, yang satunya membelai kepala saya yang masih terbungkus jilbab karena sebelumnya masih banyak tamu yang datang menjenguk. Ia menatap saya, saya bisa lihat genangan air di matanya yang ia tahan agar tidak jatuh. Rasa bersalah semakin memenuhi hati saya.

"Ini, coba ica baca"

Suami saya memperlihatkan sebuah artikel untuk saya baca. Kisah yang indah. Ia ingin menyemangati saya kembali dengan kisah di artikel itu.

Janin yang Membawa Ibunya ke Surga Bersama Ari-arinya, judul kisah di artikel itu.

Saya membacanya sambil menangis kembali, sambil masih menggenggam erat tangan suami hingga saya selesai membaca kisah itu.

"Yam, tadi pas di whatsapp, ayah ngasih saran nanti depannya Muhammad, terus mama bilang ada Ramadhan-nya juga karena ini bulan Ramadhan"

"Iya boleh" jawab suami sambil mengusap-usap tangan saya.

Perawat masuk ke dalam kamar saat saya ingin turun dari kasur karena ingin buang air kecil. Perawat bilang saya harus bedrest karena tensi saya masih tinggi, untuk buang air kecil nanti akan dipasang kateter urin, sekalian nanti urin saya diambil samplenya untuk dicek lab. Kemudian saya kembali naik ke kasur, perawat tadi mengukur kembali tensi saya, 180/110, masih tinggi. Setelah tensi, dua orang perawat lain masuk ke kamar untuk memasang kateter urin dan menyuntikan obat penurun tensi (MgSo4 kalau tidak salah) ke infus saya.

"Bu, ini obatnya saat saya suntikkan nanti ada efek panas ya, Bu"

Benar saja beberapa saat setelah disuntikkan, tubuh saya berasa panas, seakan-akan keluar asap panas dari seluruh tubuh saya. Saya agak panik dan merasa sangat tidak nyaman.

"Saya pasang selang oksigen ya, Bu. Takut ibu tidak nyaman bernapasnya"

Pertama kalinya juga untuk saya dipasang selang oksigen seperti ini. Saking panasnya, saya buka jilbab saya, minta suami untuk mengambilkan minuman dingin. Yang terbayang saat itu adalah gelas berisi air es dan es batu. Saya lirik sisa cairan MgSo4 yang sedang disuntikkan oleh perawat, masih 3/4 tabung suntik.

"Ya Allah, sus, masih lama ya disuntiknya? Panas banget"

"Iya, Bu, cairannya kental banget ini, saya suntik pelan-pelan aja ibu gak nyaman, nanti kalau saya suntiknya cepet-cepet ibu gimana? Maaf ya, Bu, yaaa. Ayo, Bu sambil atur nafas ya, Bu"

Seorang bidan masuk ke kamar, bilang bahwa ia akan memasukkan obat induksi pertama. Obat induksi yang diberikan ke saya bukan dalam bentuk cairan infus, karena kata dr. Andri obat induksi yang bentuk cairan infus efeknya sangat sakit, takut saya belum apa-apa sudah menyerah. Yang diberikan ke saya obatnya dalam bentuk tablet yang dimasukkan ke dalam vagina saya. Rasanya bagaimana saat dimasukkan obat ke dalam vagina? Tentu saja tidak nyaman.

Akhirnya cairan penurun tensi selesai disuntikkan. Tubuh saya masih terasa agak panas. Kira-kira setengah jam setelah obat induksi dimasukkan, saya mulai merasa mulas, tapi masih sebatas mulas saat nyeri haid, masih bisa saya tahan. Rasa mulasnya datang secara berkala, tapi belum terlalu sering.

Menjelang maghrib saya diberikan obat induksi yang kedua. Efeknya berbeda dengan pemberian yang pertama. Mulas yang saya rasakan lebih sakit dan lebih sering walaupun masih ada jeda waktu datangnya. Karena menahan rasa sakit, tiba-tiba suhu tubuh saya naik. Suami mengompres saya dengan bye bye fever yang ia dapatkan dari minimarket di depan rumah sakit. Saya minta suami untuk mendinginkan suhu kamar karena saya masih merasa kepanasan.

Suami duduk di samping kasur saya lagi, memberi saya minum. Saya genggam kembali tangannya, seakan-akan mencari energi dari tubuhnya agar saya tidak lemas. Tiba-tiba ia menatap saya.

"Yam, io mau namanya ada Syafanya gimana? Artinya syafaat. InsyaAllah nanti dia yang jadi syafaat buat kita"

Matanya berkaca-kaca, namun selalu berhasil ia tahan agar tidak ada air mata yang jatuh.

Saya mengangguk sambil tersenyum.

"Muhammad Syafa Ramadhan berarti ya yam namanya"


- - -


Mama saya sampai di rumah sakit sekitar jam 21.30 WITA. Mama menghampiri saya sambil menangis. Mama pasti sedih kehilangan cucu pertamanya, ditambah lagi sedih melihat anaknya terbaring menahan sakit efek induksi dan nyeri di pembuluh karena cairan infus penurun tensi. Saya juga ingin menangis, tapi entah kenapa tidak ada air mata yang keluar saat itu.

Semakin malam rasa mulas itu makin menjadi jadi dan suhu tubuh saya terasa semakin panas. Mama menyuruh suami saya untuk memanggil perawat. Saat dicek, benar saja ternyata suhu tubuh saya 39°C. Akhirnya di infus saya diberikan tambahan cairan paracetamol agar suhu tubuh saya kembali normal plus di tangan saya disuntikkan obat penahan rasa sakit agar saya bisa tidur.

Malam itu hanya suami dan mama yang menemani saya di RS. Ibu dan bapak mertua saya pulang dan mengatakan akan kembali ke RS saat sahur sekalian membelikan makan sahur untuk mama dan suami saya.

22 Mei 2018

Sekitar jam 01.00 WITA saya terbangun karena merasa kepanasan dan haus. Saya panggil suami yang tidur di sofa untuk mengambilkan minum dan menurunkan suhu ruangan.

Mama saya ikut terbangun karena ada beberapa perawat yang masuk ke kamar untuk mengukur tensi saya. 165/100, masih tinggi juga. Kemudian perawat tersebut mengganti cairan infus saya.

"Yo, gak kedinginan? Mama kedinginan tadi tidurnya" kata mama ke suami saya

"Itu ica kepanasan ma jadi rio turunin suhu acnya. Mama tidur di sofa aja biar gak terlalu kesemprot ac"

"Emang dingin ya ma? Aku malah kepanasan banget ini, sampe keringetan"

"Iya dingin, gakpapa mama pindah ke sofa aja biar gak kena ac"

Jam 02.00 WITA seorang bidan masuk ke kamar, memberikan saya obat induksi yang ketiga. 'Yak, siap-siap mules lagi' pikir saya.

Di luar dugaan, efek obat induksi yang ketiga ini super dahsyat. Saya merasa mulas non stop, hampir tidak ada jeda, sakitnya luar biasa. Saya panggil suami untuk duduk di samping saya, saya genggam tangannya erat sambil menahan sakit. Mama memberi saya minum, tapi ternyata tidak membantu mengurangi rasa sakitnya. Mama membimbing agar saya beristighfar.

Astaghfirullah

Ya Allah

Ya Allah

Sakiiittt

Sekitar jam 03.00 WITA, ibu dan bapak mertua saya datang sambil membawa nasi padang untuk makan sahur suami dan mama saya. Mama dan suami saya hanya bisa makan sahur sedikit saja karena khawatir dengan saya yang sudah kewalahan menahan rasa sakit.

"Ya Allah, sakiiitt, sakit banget ini gimanaaa? Ya Allah gimana ini? Gak kuat, gak bisa ya Allah"

Kepala saya menggeleng-geleng, kaki saya gemetar, gigi saya beradu, sakitnya makin luar biasa. Mama menangis, menggenggam tangan saya, kembali membimbing saya untuk beristighfar.

"Maaa, maafin ica maaa, maaaff"

Saya membayangkan bagaimana dulu perjuangan ibu saya yang diinduksi sampai 2 cairan infus, dimasukkan balon dan diberi induksi lewat mulutnya hanya untuk melahirkan saya. Pasti lebih dari ini rasa sakitnya. Dan saya masih dengan teganya banyak mengecewakan, membuatnya sedih, membuatnya marah.

Ibu mertua saya menyuruh suami saya untuk memanggil perawat. Yang masuk ke kamar adalah bidan yang sejak kemarin memberikan obat induksi untuk saya.

"Saya cek bukaan ya, Bu. Maaf agak gak nyaman"
"Belum ada bukaan, Bu"

"Tapi sakit banget sus. Udah gak kuat saya"

"Coba diatur nafasnya ya, Bu"

Saya dibimbing untuk mengatur nafas saya. Ternyata manjur, rasa mulasnya menjadi ada jedanya lagi. Namun gak bertahan lama. Rasa mulas yang luar biasa muncul kembali, bertubi-tubi, tanpa ampun. Sekitar jam 03.30 WITA suami kembali memanggil bidan, kemudian bidan cek bukaan.

"Sudah bukaan 4 ini, Bu. Mudah-mudahan sebentar lagi ya, Bu"

"Sus, tapi ini sakit. Saya nyerah sus, dioperasi aja"

Saya mohon-mohon sambil meringis kesakitan. Saya lihat suami hampir menangis melihat kondisi saya.

"Semangat, Bu. Tanggung sudah bukaan 4. Sabar ya, Bu, yaaa"

'Ya Allah tega amat ini bidan' pikir saya

"Nanti jam 4 saya balik periksa bukaan lagi ya, Bu. Tapi kalau ada apa-apa panggil lagi aja, gak apa"
.
.
.
.
.
Lahir Tanpa Tangisan #4

0 comments:

Post a Comment