21 Mei 2018
Akhirnya tiba juga hari Senin. Hari itu saya dapat jadwal kontrol ke dokter spog jam 14.00 WITA. Rasa panik dan khawatir masih menyelimuti hati saya, otak saya terasa penuh, gerakan normal janin masih juga belum saya rasakan sejak saya bangun tidur.
Hari itu memang jadwal suami untuk ke Bontang karena urusan pekerjaan. Dari minggu malam ia sudah bilang kalau akan berangkat setelah sholat subuh, karena janjian dengan client di Bontang jam 9 pagi. Melihat suami sudah bersiap berangkat pagi-pagi buta, entah kenapa saya galau, saya tidak mau dia berangkat, saya tidak siap ditinggal dan menunggu sendirian di rumah hingga siang nanti. Tapi suami tetap meyakinkan saya untuk tetap husnudzon, bilang bahwa sebelum dzuhur ia akan pulang dan mengantar saya kontrol ke dokter. Namun tetap saja saya merasa tidak berani, hati saya tidak tenang, sama sekali tidak tenang. Akhirnya suami minta tolong ke ibunya untuk menemani saya di rumah hingga ia pulang nanti siang, karena hari itu suami benar-benar harus berangkat ke Bontang.
Ditemani ibu mertua di rumah, saya agak tenang karena tidak merasa kesepian, tapi otak saya masih penuh, banyak pikiran dan pertanyaan yang berkecamuk disana. Selesai sarapan saya merasa perut saya kencang, kemudian diikuti dengan tonjolan yang muncul di permukaan kulit perut, saya tunjukkan ke ibu mertua
"Ini, Bu, kayak gini aja gerakannya dari hari sabtu, gerakan janin bukan ya ini?"
Setelah melihat tonjolan di perut saya, raut wajah ibu agak berubah, mungkin khawatir juga kalau itu bukan gerakan yang normal. Akhirnya ibu menelpon bapak mertua untuk menghubungi direktur RSUD AW Syahranie, yang kebetulan memang bapak kenal dengan beliau, agar saya dijadwalkan untuk bertemu dengan dokter spog langganan saya pagi ini juga. Jam 09.00 WITA bapak menghubungi ibu kembali, bilang agar ibu dan saya bersiap-siap karena sudah berhasil dijadwalkan untuk bertemu dengan dr. Andriansyah (dokter spog saya) jam 10.00 WITA di RSUD.
"Ini, Bu, kayak gini aja gerakannya dari hari sabtu, gerakan janin bukan ya ini?"
Setelah melihat tonjolan di perut saya, raut wajah ibu agak berubah, mungkin khawatir juga kalau itu bukan gerakan yang normal. Akhirnya ibu menelpon bapak mertua untuk menghubungi direktur RSUD AW Syahranie, yang kebetulan memang bapak kenal dengan beliau, agar saya dijadwalkan untuk bertemu dengan dokter spog langganan saya pagi ini juga. Jam 09.00 WITA bapak menghubungi ibu kembali, bilang agar ibu dan saya bersiap-siap karena sudah berhasil dijadwalkan untuk bertemu dengan dr. Andriansyah (dokter spog saya) jam 10.00 WITA di RSUD.
Selesai mandi, bersiap-siap, dan sholat dhuha, akhirnya saya berangkat ke RSUD diantar oleh ibu dan bapak mertua saya. Deg-degan, panik, khawatir, tetap berharap, semua perasaan jadi satu. Saya coba tenangkan diri sambil terus istighfar dan membelai perut saya. Sesampainya di RSUD saya langsung dibawa ke kamar antar, disana saya sudah ditunggu oleh beberapa orang bidan. Seorang bidan memeriksa djj (detak jantung janin) saya dengan menggunakan doppler, null, yang terdengar hanya detak jantung saya dan suara usus saya. Seorang bidan lagi datang kemudian memegang perut saya untuk mengetahui posisi janin, sambil bertanya
"Ini usia kandungan berapa ya, Bu?"
"31 minggu sus" jawab saya.
Kemudian sang bidan berbisik ke bidan yang satunya, namun bisikan itu masih terdengar oleh saya
"Kecil ya perutnya, 31 minggu" bisiknya, raut wajahnya juga tampak khawatir.
Bidan pertama kembali mencoba mencari djj menggunakan doppler, tetap null, yang terdengar hanya detak jantung saya dan suara organ di perut saya.
"Bu, ini alatnya belum secanggih USG, langsung USG dengan dr. Andri saja yuk, Bu" katanya, berusaha menenangkan saya. Istighfar sebanyak-banyaknya dalam hati, hanya itu yang bisa saya lakukan.
"Ini usia kandungan berapa ya, Bu?"
"31 minggu sus" jawab saya.
Kemudian sang bidan berbisik ke bidan yang satunya, namun bisikan itu masih terdengar oleh saya
"Kecil ya perutnya, 31 minggu" bisiknya, raut wajahnya juga tampak khawatir.
Bidan pertama kembali mencoba mencari djj menggunakan doppler, tetap null, yang terdengar hanya detak jantung saya dan suara organ di perut saya.
"Bu, ini alatnya belum secanggih USG, langsung USG dengan dr. Andri saja yuk, Bu" katanya, berusaha menenangkan saya. Istighfar sebanyak-banyaknya dalam hati, hanya itu yang bisa saya lakukan.
Saya diantar masuk ke ruang praktek dr. Andri, disana bidan menyuruh saya langsung berbaring untuk segera di-USG. Setelah bidan memberikan gel di atas permukaan perut saya, dr. Andri menjalankan alat USG-nya. Saya bisa melihatnya sedang tidur terlentang, seperti biasanya ia tiap saya di-USG, namun ada yang berbeda, tidak lagi saya lihat ada bagian yang bergerak kembang kempis di dadanya, tidak ada lagi suara gemuruh detak jantungnya yang cepat terdengar di alat USG hari itu. Nafas saya mulai berat.
"Bu, ini bagian kepala janin, ini tulang punggungnya ya, Bu. Tapi memang detak jantungnya sudah tidak ada. Air ketubannya juga menipis, sepertinya sudah lebih dari 24 jam. Sabar ya, Bu ai", kata dr. Andri dengan logat Banjarnya.
Beliau mengatakannya dengan perlahan dan sangat halus, namun tetap sangat menusuk bagi saya. Air mata saya mengalir, kepala saya terasa berat.
Ya Allah, aku belum bertemu dengan anakku, aku belum sempat mengintip wajahnya lewat USG 4D, aku belum banyak mengajaknya ngobrol, Ya Allah, Ya Allah :'(
Turun dari tempat tidur, ibu mertua saya langsung merengkuh saya dalam pelukannya.
"Ica yang sabar ya, Ca, yaaa. Ini sudah kehendak Allah. Ica ikhlas ya, Ca" ucapnya berulang-ulang sambil mengelus punggung saya.
Saya menangis sejadi-jadinya. Ibu dan bapak mertua saya juga menangis. Ini anak pertama saya dan suami, tapi ini juga adalah cucu pertama mereka, juga cucu pertama ayah dan mama saya. Harapan dan dunia kami seolah-olah runtuh dalam sekejap. Setelah tangis kami cukup mereda, dan saya yang lemas didudukkan di kursi roda, akhirnya dr. Andri mulai bicara tentang diagnosa kasus iufd saya ini. Beliau bilang ada banyak kemungkinan, yang jelas janin dalam perut saya tidak mendapatkan oksigen dan nutrisi. Ya Allah, membayangkan anak saya tidak mendapatkan oksigen dan nutrisi yang cukup membuat saya hancur, saya merasa bersalah.
Ya Allah, Nak, maafkan ibun, Nak.
Kemudian dr. Andri bilang bahwa janin ini harus dilahirkan, saran beliau secara normal saja karena janinnya pun masih kecil dan beliau takut kalau dilahirkan secara SC kondisi psikis saya makin memburuk karena kalau SC selain saya sedih kehilangan buah hati, saya juga harus menahan sakit dalam jangka waktu yang lebih lama karena bekas jahitannya nanti. Jujur saya belum siap melahirkan dengan cara apapun, saya belum punya bekal ilmu sama sekali, karena niat sebelumnya saya akan mulai ikut kelas-kelas hipnobirth, prenatal yoga dan lainnya saat saya sudah di Jakarta nanti. Namun ternyata saya harus siap, mau tidak mau, siap tidak siap janin ini harus dilahirkan, dokter takut jika tidak segera, kehamilan ini akan berbahaya untuk saya.
Akhirnya diputuskan untuk lahiran normal dengan bantuan obat induksi, setelah sebelumnya dr. Andri minta pendapat suami saya via telpon. Saya juga sempat bicara dengan suami via telpon, walaupun lebih banyak diisi dengan sesenggukan karena tangis yang tertahan. Di awal telpon saya terus menerus minta maaf ke suami, minta maaf karena buah hati kami harus pergi, minta maaf karena saya tidak becus, minta maaf karena tahun ini kami gagal menjadi orang tua 'seutuhnya'. Suami terus menenangkan saya, bilang ia sudah di jalan pulang, bilang ia akan segera menemani saya, ikut berjuang bersama saya, akan segera menggenggam tangan dan memeluk saya untuk berbagi segala yang rasakan. Pun ketika saya mengabarkan mama, saya hanya bisa minta maaf sambil menangis sesenggukan, mama di jakarta juga menangis
"Kaakk, kakak yang sabar, yang ikhlas ya, Nak. Mama berangkat ke Samarinda sekarang, mama temenin kamu"
.
.
.
.
.
Lahir Tanpa Tangisan #3
"Bu, ini bagian kepala janin, ini tulang punggungnya ya, Bu. Tapi memang detak jantungnya sudah tidak ada. Air ketubannya juga menipis, sepertinya sudah lebih dari 24 jam. Sabar ya, Bu ai", kata dr. Andri dengan logat Banjarnya.
Beliau mengatakannya dengan perlahan dan sangat halus, namun tetap sangat menusuk bagi saya. Air mata saya mengalir, kepala saya terasa berat.
Ya Allah, aku belum bertemu dengan anakku, aku belum sempat mengintip wajahnya lewat USG 4D, aku belum banyak mengajaknya ngobrol, Ya Allah, Ya Allah :'(
Turun dari tempat tidur, ibu mertua saya langsung merengkuh saya dalam pelukannya.
"Ica yang sabar ya, Ca, yaaa. Ini sudah kehendak Allah. Ica ikhlas ya, Ca" ucapnya berulang-ulang sambil mengelus punggung saya.
Saya menangis sejadi-jadinya. Ibu dan bapak mertua saya juga menangis. Ini anak pertama saya dan suami, tapi ini juga adalah cucu pertama mereka, juga cucu pertama ayah dan mama saya. Harapan dan dunia kami seolah-olah runtuh dalam sekejap. Setelah tangis kami cukup mereda, dan saya yang lemas didudukkan di kursi roda, akhirnya dr. Andri mulai bicara tentang diagnosa kasus iufd saya ini. Beliau bilang ada banyak kemungkinan, yang jelas janin dalam perut saya tidak mendapatkan oksigen dan nutrisi. Ya Allah, membayangkan anak saya tidak mendapatkan oksigen dan nutrisi yang cukup membuat saya hancur, saya merasa bersalah.
Ya Allah, Nak, maafkan ibun, Nak.
Kemudian dr. Andri bilang bahwa janin ini harus dilahirkan, saran beliau secara normal saja karena janinnya pun masih kecil dan beliau takut kalau dilahirkan secara SC kondisi psikis saya makin memburuk karena kalau SC selain saya sedih kehilangan buah hati, saya juga harus menahan sakit dalam jangka waktu yang lebih lama karena bekas jahitannya nanti. Jujur saya belum siap melahirkan dengan cara apapun, saya belum punya bekal ilmu sama sekali, karena niat sebelumnya saya akan mulai ikut kelas-kelas hipnobirth, prenatal yoga dan lainnya saat saya sudah di Jakarta nanti. Namun ternyata saya harus siap, mau tidak mau, siap tidak siap janin ini harus dilahirkan, dokter takut jika tidak segera, kehamilan ini akan berbahaya untuk saya.
Akhirnya diputuskan untuk lahiran normal dengan bantuan obat induksi, setelah sebelumnya dr. Andri minta pendapat suami saya via telpon. Saya juga sempat bicara dengan suami via telpon, walaupun lebih banyak diisi dengan sesenggukan karena tangis yang tertahan. Di awal telpon saya terus menerus minta maaf ke suami, minta maaf karena buah hati kami harus pergi, minta maaf karena saya tidak becus, minta maaf karena tahun ini kami gagal menjadi orang tua 'seutuhnya'. Suami terus menenangkan saya, bilang ia sudah di jalan pulang, bilang ia akan segera menemani saya, ikut berjuang bersama saya, akan segera menggenggam tangan dan memeluk saya untuk berbagi segala yang rasakan. Pun ketika saya mengabarkan mama, saya hanya bisa minta maaf sambil menangis sesenggukan, mama di jakarta juga menangis
"Kaakk, kakak yang sabar, yang ikhlas ya, Nak. Mama berangkat ke Samarinda sekarang, mama temenin kamu"
.
.
.
.
.
Lahir Tanpa Tangisan #3